Kisah Kelahiran Syifa

Menjelang Kelahiran

Jam 9 malam saat itu, ketika kurasakan kontraksi menjadi teratur. Tiga hari yang lalu aku sibuk menghitung frekuensi kontraksiku. Mula-mula tidak teratur, kadang sampai 20 menit sekali dan yang terpendek sekitar 5-10 menit sekali. Dua sampai sehari menjelang kelahiran, perut ini rasanya semakin sering mulas. Di buku yang kubaca, proses persalinan akan terjadi begitu kontraksi terasa 5 menit sekali. Betul juga, saat itu kontraksi sudah mendekati 7 menit sekali.

Karena sudah tak tahan lagi, aku meminta suamiku untuk mengantar ke klinik. Sampai di sana pasien tinggal sedikit. Saat mendaftar aku mendapat urutan ke dua. Jam segitu, dokter kandunganku sedang tidak praktek, lalu kutelepon beliau dan kuceritakan tentang kontraksi yang terjadi. Jawabnya, aku disuruh menunggu sampai kontraksi berjalan tiap 5 menit sekali. Tapi jujur, aku sudah tak tahan lagi. Dokter juga mengatakan bahwa di klinik ada bidan jaga. Aku dimintanya untuk diperiksa oleh bidan dulu. Kalau memang sudah waktunya, dokter akan datang. Baiklah. Telepon kututup. Aku sekarang berada di ruang tunggu klinik bersama suamiku.

Lama aku menunggu. Karena tidak sabar, aku bertanya pada perawat, kapan giliranku periksa. Dari tadi kartu periksaku sudah dibawa masuk ke ruang bidan, itu artinya aku hanya tinggal menunggu panggilan saja. Ternyata bidan sedang tidak ada di tempat. Ada seorang ibu yang sedang membutuhkan bantuan beliau. Ibu itu sedang berada di ruang operasi dan sebentar lagi melahirkan. Ya Allah… sia-sia aku menunggu dari tadi. Dengan sedikit kesal, kubilang pada perawat jaga agar kartuku diambil kembali saja. Aku membatalkan periksa ke bidan. Aku dan suamiku memutuskan untuk kembali ke rumah.

Sampai di rumah, aku benar-benar tak bisa tidur. Sebentar-sebentar perut mulas. Kontraksi sudah makin hebat. Kalau sudah tak tahan, aku mengubah posisi. Dari tidur kemudian duduk. Kalau tak reda juga, aku berdiri. Namun seperti dalam buku -dan kukira memang begitu- bahwa persalinanku tinggal sebentar lagi. Persalinan yang sebenarnya mempunyai salah satu tanda bahwa kontraksi telah sedemikian hebat dan tak akan reda dengan mengubah posisi. Aku semakin yakin bahwa waktunya tinggal sebentar lagi.

Aku tak memikirkan apa pun selain merasakan lilitan di dalam perutku ini. Kadang air mata sampai tak terasa menetes dan aku hanya bisa berdiri, diam, memejamkan mata, dan sedikit merintih kesakitan sambil mengusap-usap perutku.

“Ayah bisa bantu apa Mi?”
Pertanyaan suamiku kujawab dengan gelengan kepala. Suamiku memelukku. Dari tadi suamiku menawariku untuk kembali ke klinik. Tapi aku menolak. Kupikir lebih baik menahan rasa sakit ini di rumah saja daripada berada di klinik. Lebih nyaman berada di rumah daripada di klinik. Nanti kalau aku sudah benar-benar tak bisa menahan lagi, baru aku mau ke klinik.

Jam 1 dini hari ketika akhirnya rasa sakitku ini benar-benar tak bisa kutahan lagi…

“Berangkat sekarang aja Yah…”
Suamiku yang sedari tadi juga tidak tidur, segera kuminta mengantarku kembali ke klinik. Segera diteleponnya layanan antar jemput dari klinik dan beberapa menit kemudian mobil ambulans datang. Semua perlengkapan bersalin yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari, kubawa. Seorang perawat muncul dan membantuku memasukkannya ke dalam mobil. Di dalam mobil hanya aku, perawat itu, dan seorang sopir. Suamiku mengikuti mobil yang kami tumpangi dengan motor. Perjalanan menuju klinik adalah perjalanan paling menegangkan. Yang berikutnya adalah kisah yang lebih menegangkan. Kisah yang paling menakjubkan seumur hidupku.

Detik Detik Kelahiran Sang Buah Hati

Aku sudah berada di dalam mobil ambulans, bersama seorang perawat di sampingku. Saat kontraksi terjadi berkali-kali, perawat itu dengan tenang memberitahuku teknik pernafasan. Aku dimintanya menarik nafas panjang dan menghembuskannya ketika kontraksi terjadi kembali.

“Masih sakit?” tanyanya.
Aku mengangguk sambil menahan rasa sakit. Tangannya mengelus perutku. Dengan cerita-cerita yang keluar dari mulutnya, kontraksi seakan tidak begitu terasa berat.

“Ibu tidak mengkonsumsi akar fatimah kan?”
“Tidak. Memangnya kenapa mbak?” tanyaku penasaran.
Aku tahu yang dimaksud perawat itu. Kemarin ibuku juga sempat meminjamnya dari tetangga yang baru pulang haji. Ibu pun menyuruhku untuk menyeduhnya dengan air hangat kemudian meminum airnya. Menurut cerita, akar tanaman yang dikenal dengan nama akar fatimah ini bila dikonsumsi oleh ibu hamil menjelang persalinannya, akan dapat mengurangi rasa sakit ketika melahirkan nanti.

“Kalau minum akar fatimah nanti malah tambah sakit.” tambahnya.
“O ya? Loh, katanya malah jadi ngga sakit?”
“Secara medis belum pernah diteliti kandungannya, tapi malah menambah rasa sakit.”
“Alhamdulillah, untung saya ngga jadi minum mbak. Kemarin sempat ingin mencoba.” Aku lega.
Memang suamiku juga tidak menganjurkanku untuk meminumnya. Suamiku beranggapan bahwa bila aku sampai meminumnya dan rasa sakit ketika melahirkan benar-benar berkurang, akan menanamkan kepercayaan bahwa ada yang dapat menolong selain Dia. Takutnya malah jadi syirik, menganggap bahwa kemudahan persalinan itu karena telah mengkonsumsi akar fatimah dan bukan karena datang dari Allah. O iya, benar juga. Aku menurut waktu itu. Tak kusentuh akar fatimah dari ibuku.

Mobil ambulans berhenti. Aku berjalan melewati pintu yang sama yang telah kulewati empat jam yang lalu. Suamiku sudah sampai lebih dulu. Aku ditemani perawat masuk ke ruang periksa, sementara suamiku menunggu di kursi tunggu.
Perawat itu segera mencuci tangan dan memakai sarung tangan, kemudian memeriksa kandunganku.

“Sudah bukaan dua.” katanya.
Aku dibimbingnya keluar kemudian menemui suamiku untuk mengurus keperluan rawat inap. Sekarang aku berada di kamar kelas 1. Nyaman, tapi tetap tak terasa nyaman saat kontraksi ini terjadi kembali. Aku sampai tidak bisa tidur. Kualihkan perhatianku dengan menonton TV.

“Nanti jam 6 diperiksa lagi ya.” pesan perawat ketika meninggalkan kamarku.
“Iya. Makasih ya mbak.”
Perawat itu tersenyum dan mengangguk.

Sampai saat subuh…

“Duh, ngga kuat lagi nih Yah…” kontraksi kurasakan makin parah.
“Panggil perawat aja ya.” jawab suamiku lalu buru-buru memanggil perawat setelah melihatku merasa sangat kesakitan. Mukenaku masih kukenakan ketika perawat yang tadi datang.

“Sudah sholat subuh?” tanyanya dengan melemparkan senyuman.
Selalu begitu, perawat yang satu ini, membuatku merasa nyaman. Begini seharusnya perawat, melayani pasien dengan senyuman. Padahal mbak ini lembur dari tadi dan pasti juga belum tidur. Salut aku kepadanya…

“O… sudah bukaan 6.” katanya setelah memeriksaku untuk ke dua kali.  “Langsung ke ruang operasi saja ya.”
Aku mengangguk.
Perawat kemudian keluar dan kembali dengan kursi roda. Aku membawa sebuah kain jarik, untuk persiapan melahirkan nanti. Bapak dan ibuku sudah kutelepon, juga mertuaku. Mereka akan segera ke sini. Mertuaku mungkin agak lama. Perjalanannya dari rumah ke Jogja sekitar 3 jam.

Tubuhku segera didudukkannya di kursi roda dan didorongnya menuju ruang periksa yang pertama tadi, juga termasuk di dalamnya ada kamar bersalin. Dari kamarku ke tempat periksa tadi terpisah oleh jalan kecil. Kulihat jalanan masih sepi. Masih pagi sekali. Kulihat seorang satpam yang berjaga di pos, tepat di depan jalan masuk ke ruang operasi. Perasaanku sudah tak menentu.

Selamat Datang ke Dunia, Sayang

Aku sudah berbaring di ranjang, di ruang bersalin. Sebelah kiriku ada sebuah meja kecil. Perawat sudah menyiapkan segelas air putih.

“Dokternya belum datang ya mbak?”
“Belum. Rumah Dr. Detty dekat kok, nanti kalau sudah mau melahirkan baru ke sini.”
Aku mengangguk, mengerti.
Suamiku masih setia di sampingku. Dia sudah sibuk menenangkanku dari tadi. Ketika kontraksi terasa, dia mendekatkan mulutnya ke telingaku, sambil berdo’a yaa hayyu yaa qayyuum, birahmatika astaghits. Begitu seterusnya, sambil memegangiku. Tanganku selalu mencengkeram lengannya ketika kontraksi muncul. Dan dia mengulangi kalimatnya tadi.

Aku hanya boleh bernafas dan tidak boleh mengejan. Padahal dorongan ini sudah semakin kuat. Huump…. ah…. Hummp…. ah…. Sampai kapan aku musti bernafas seperti ini terus? Tenggorokanku kering. Segelas air putih yang disediakan tadi sudah habis kuminum, juga dua gelas berikutnya, teh dan susu. Semua sudah habis. Tenggorokan ini semakin kering saja. Sebentar kemudian terasa sesuatu keluar.

“Ketubannya dah keluar?”
“Belum.” jawab suamiku yang dari tadi ikut mengamati setiap hal yang terjadi. Memang dari kemarin persalinanku tidak didahului oleh pecahnya ketuban atau pun keluar darah seperti yang diceritakan dalam buku. Makanya aku tak bisa mengira-ira kapan persalinan ini akan terjadi. Kalau seandainya ketuban pecah atau keluar darah, segera berangkat ke rumah sakit atau klinik bersalin. Begitu teori di dalam buku.

Lama kutunggu dengan nafas yang hampir habis. Kulihat seorang perempuan berjalan ke arahku, segera kucium tangannya. Juga seorang pria yang segera memberiku semangat untuk melanjutkan perjuangan ini. Bapak dan ibuku yang telah datang. Mereka menunggu di dalam, tetapi segera diminta menunggu di luar oleh perawat. Yang boleh menemani saat proses kelahiran nanti hanya suami. Begitu katanya.

Dokter belum datang juga, sementara dari seberang kudengar tangisan bayi. Dari tadi aku dan seorang ibu lain yang berada di ruang bersalin sebelah kamar ini, tengah berjuang dengan misi yang sama, melahirkan sang buah hati. Sebentar kemudian seorang bidan masuk, kemudian membenarkan posisiku dan menarik ketuban yang masih terbungkus, begitu dilihatnya telah keluar. Tetapi aku masih harus menunggu dokterku tiba.

Sebentar kemudian kulihat wajah itu. Alhamdulillah dokterku sudah datang. Dengan sigap ia mempersiapkan segalanya. Perawat memasang lampu besar yang dihadapkan ke arah ranjangku, diset sedemikian rupa sehingga memberikan penerangan yang cukup kepada dokter saat melakukan tugasnya.

Sekaranglah waktunya untuk mengejan. Akhirnya aku dapat mengejan dengan lepas setelah tadi kutahan dengan nafas panjang terus menerus. Sebelum ada dorongan alami dari dalam, tidak diperbolehkan mengejan karena akan menyebabkan robekan. Aku tahu itu dari buku.

Sekarang kepala bayiku sudah muncul. Tapi dorongan dari dalam malah berhenti. Kucoba mengejan sendiri, tapi percuma. Kalau dorongan tidak muncul dari dalam, maka mengejan seperti apa pun akan sia-sia. Setelah dorongan ke dua muncul, aku mengejan lagi. Kurasakan sengatan panas. Belakangan kutahu dari suamiku bahwa waktu itu dokter mengambil pisau lalu merobek jalan keluar bayi. Rasanya perih sekali.

Aku mengejan lagi. Perawat sudah wanti-wanti untuk selalu mengejan seperti ketika akan BAB. Aku menurut. Aku terus mengejan begitu dorongan itu muncul. Sebentar kemudian, kulihat bayiku sudah keluar. Samar-samar kumendengar suara dokter,  “Perempuan…” katanya saat mengangkat bayiku.

Alhamdulillah… Kulihat jam dinding tepat di tembok sejurus mataku memandang. Jam 7.10 bayiku lahir. Diletakkannya makhluk kecil itu di dadaku sementara dokter memotong ari-ari. Bayiku kulihat berwarna agak biru, terbungkus dengan selaput putih. Masih belum selesai perjuanganku waktu itu. Ketika ari-ari telah terpotong, bayi segera diangkat oleh perawat untuk dibersihkan. Aku tak berpikir apa pun selain tetap berdzikir sejak tadi dengan dibimbing suamiku. Saat ini adalah proses pengeluaran plasenta.

“Tidak usah mengejan…” kata dokter mengingatkanku.
Plasenta telah keluar. Tahap terakhir adalah proses menjahit robekan. Walau terakhir, tapi justru paling perih.

“Kalau sakit bilang saja ya, jangan bergerak, biar ngga salah tusuk.” Dokterku mengingatkan. Lalu kulihat benang yang terjulur panjang setelah tusukan yang pertama.

“Aduh, sakit dokter.”
“Aku tegaan kok.” begitu sahutnya tanpa memperhatikanku.
Aduh, bener-bener tega nih dokter. Katanya suruh bilang kalau sakit.
“Aduh…”
Entah berapa kali aku mengaduh, tapi dokter tetap asyik dengan pekerjaannya.
Kucoba menenangkan perasaanku dengan membaca surat-surat dalam Al-Qur’an, sebisaku, agar perhatian terhadap rasa sakitku teralihkan.

“Sudah… “ kata dokter setelah semuanya selesai.
“Jahit berapa Dok?” tanyaku.
“Jahit satu.”
Hah? Satu? Yang benar saja. Padahal tadi kulihat benangnya panjang banget…
“Terima kasih ya Dok…” ucapku saat dokter bersiap hendak meninggalkan ruangan bersalin.
“Ya…” jawab beliau sambil tersenyum.

Alhamdulillah, usai sudah perjuanganku melahirkan buah hati tercinta. Terima kasih untuk dokter dan perawat yang telah membantuku. Jasa kalian begitu besar. Semoga Allah memberikan balasan yang baik untuk kalian.

Bapak dan ibuku kulihat masuk menemuiku. Ibu mencium pipiku. Aku meraih tangan bapak dan menciumnya. Kulihat kantung mata bapak menggelayut tebal. Bapak tadi pasti menangis ketika proses kelahiran.

“Kayane lagi wingi tak terke sekolah, saiki kok wis duwe anak.” Sepertinya baru kemarin  kuantar ke sekolah, sekarang kok sudah punya anak. Begitu ungkapan rasa haru bapak begitu menyaksikan aku, putri satu-satunya telah berhasil melahirkan cucu pertamanya dengan selamat.

Mata bapak masih merah, tadi bapak bercerita, tak ada yang dilakukannya selama menunggu di luar kecuali hanya berdo’a untuk kelancaran persalinanku. Tadi bapak juga sempat telepon nenek untuk membantu mendo’akan keselamatanku dan bayiku.

Bayiku telah selesai dibersihkan, kini ia telah terbungkus rapi dengan kain bedong. Perawat segera membawanya ke sampingku dan memperlihatkan bayiku. Aku tersenyum melihat wajah cantik itu. Bayi mungil yang berada dalam rahimku, kini telah ada di sampingku. Rasa sakit selama melahirkan tadi telah hilang berganti dengan perasaan bahagia. Setelah aku mengamati bayiku, perawat meminta ijin untuk membawanya lagi ke ruang bayi.

Aku masih di ranjang kamar bersalin sampai dua jam kemudian. Ibuku memperingatkanku agar tidak mengantuk. Sejak bertemu ibu di kamar bersalin ini, ibu sudah panik saat melihatku mengantuk. Pipiku sempat ditepuknya tadi. Di antara proses melahirkan tadi aku memang sempat merasa ngantuk sekali. Tapi tetap kutahan, karena pesan ibu bahwa pada waktu melahirkan tidak boleh sampai tertidur, karena bisa terjadi hal-hal yang diinginkan.

“Bisa bablas…” kata ibu.
Maksudnya kalau tertidur bisa-bisa ngga bangun lagi… Serem banget. Aku ngga tahu persis tentang hal ini. Aku juga tak menemukannya dalam buku kehamilanku.

Hal yang terlupakan adalah berterima kasih pada suamiku. Ah, maafkan aku suamiku… Aku sudah melupakanmu 😀 Entah bagaimana jadinya tanpamu. Suamiku dari awal sampai akhir tetap setia menungguiku. Tak peduli cakaran mautku pada lengan tangannya saat kontraksi itu terjadi, tak peduli lelah yang menghampiri saat bolak-balik memeriksakan kandunganku ke klinik, juga rasa kantuk yang menyerang ketika menemaniku berjuang antara hidup dan mati. Ia tetap setia berada di sampingku, sampai saat ini. Terima kasih, engkau suami terbaik bagiku. Semoga Allah meridhoi setiap tetes keringat yang telah keluar mengiringi pejuanganmu di dalam memberikan kebahagiaan untukku dan buah hati kita.

12 Responses

  1. sukses jeng.. sukses bikin ak nangis 🙂
    mengharukan..
    deskripsi yang detil, mengalir, seperti menonton film
    two thumbs up!

    • Sya juga nangis…padahal cowok 🙂 anak saya samanya Syifa.

  2. Subhanalllah….

    Ada lucu, ada tegang, ada risau, ada senang….

    Thanks for share Mbak, But… kykny si dokter hny mo menghibur Mbak deh, masa’ cm satu jahitan? hehehe 😀 Yang penting… semua sehat selamat, pasien tenang dan bahagia. That’s the point to reached 😉

  3. Subhanallah perjuangan seorang ibu. Jadi teringat persalinan istri saya…. :). Salam untuk semua ibu, semoga Jannah jadi balasan sakit saat melahirkan putra-i nya. Amiin.

  4. honestly…bikin terharu um…jd inget waktu melahirkan ketiga putri2ku…thx for sharing….^_^

  5. subhanallah.. *elus2perutsambil nangis*

  6. ibu,,,maafkan aq,,,aseli ngalir deres ni air mata,,,ada piso,,jarum,,benang,,,gunting,,,dan itu dipake buat jaringan kulit tipis,,masya Allah sakitnya,,,ada gk yahh cerita proses melahirkan yg nyamannn???hmm,,,inilah jihad kita para ummahat,,,Yaa Rabb mudahkanlah persalinan hamba kelak,,,Aminnn,,,anakku bantu ummi yahh sayang,,yukk kita berdua bekerjasama 🙂

  7. terharu. mudahkan hamba ya allah dalam persalinan kelak amin

  8. Sukses buat sy nangiss..

  9. Jadi ingat waktu persalinan anak pertamaku

  10. Ya sempat aku alami semua itu, tapi berbeda dengan masalahku, bayi ku lahir ketika usia kandungan masih 6 bulan lebih, bayiku selamat lahir, dia dirawat di ruang khusus bayi prematur namanya ruang NICU, hari kehari perkembngan bayi saya bagus , tapi setelah menginjak 7 hari dia hidup, dia sudah tak kuat dengan khidupan di dunia,mungkin dia lebih akan terjaga bila di sisi allah, dia anak pertamaku dia anak yg paling aku sayang, cuman dia.penyemangatku sampe sekarang

  11. Ikut berkaca kaca bun…
    Nih saya sedang menunggu progress kelahiran anak ke 3. Tadi pagi dah flek flek…Nungguin saat kontraksi teratur.

Leave a reply to jat_abikhansa Cancel reply